Twitter, 'Medan Perang' Pemilu 2014

http://images.detik.com/content/2014/04/09/398/130950_adalam.jpg
Akhirnya, tahapan pemilu 2014 perlahan-lahan kita lalui. Pemilihan anggota legislatif telah dilalui pada 9 April ini, dan hasilnya akan menentukan konfigurasi politik pada pilpres beberapa bulan ke depan. Sementara itu, dunia maya, khususnya media sosial (medsos) Twitter, telah dipenuhi oleh berbagai propaganda politik. Bagaimana kita bisa tetap eling dalam kondisi ini?

Twitter Sudah Menjadi Pilihan Utama

Berbeda sekali dengan pemilu 2009, di mana tim sukses parpol dan capres masih lebih mengandalkan Facebook, di pemilu 2014 ini, sudah sangat jelas, bahwa Twitter menjadi medsos pilihan bagi mereka. Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebenarnya sangat sederhana jawabannya, sebab Twitter merupakan medsos yang mudah digunakan, tidak hardware demanding, gadget friendly, dan menjamin privasi user.

Konteks privasi ini menjadi penting, sebab dalam era kampanye digital ini, memang sebagian buzzer timses memilih untuk menjadi anonim, dalam arti menggunakan akun timses dan bukan mengatasnamakan pribadi. Terlihat dengan jelas, anonimitas jauh lebih terjamin pada Twitter, sebab memang hanya sedikit sekali informasi mengenai user account yang diinput oleh pengguna.

Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan Facebook, dimana informasi yang diinput harus lebih komprehensif, walaupun dalam kebanyakan kasus hal ini optional. Hal ini penting bagi timses, sebab tentu saja silent operation atau blitzkrieg ala dunia maya hanya bisa dijamin oleh platform medsos yang mendukung penuh anonimitas.

Di sini, mereka bekerja seperti ninja, yang melakukan pemantauan tanpa diketahui pihak lawan, dan melakukan ‘serangan’ dikala lawan lengah. Di sini, pihak yang kurang paham dalam optimasi medsos jelas akan sangat kewalahan dibandingkan mereka yang sangat paham akan hal itu.


Namun, apa saja yang terjadi di medsos Twitter selama masa kampanye ini? Kita bisa memperhatikan adanya fenomena munculnya akun-akun propaganda politik jelang Pemilu.

Mereka melakukan Bom twit yg menyerang akun tertentu, baik pro atau kontra pada partai tertentu. Secara teknis, tentu saja hal ini bisa dilakukan oleh Bot, yang tools generatornya sudah tersedia di web. Kemudian munculnya hestek-hestek yang mendeskreditkan partai tertentu, juga kultwit-kultwit yg membela kubu tertentu oleh selebtwit.

Satu hal yang juga menarik, adanya tarik menarik antara pihak yang pro-golput dengan yang anti-golput di Twitter. Sangat wajar, jika timses menginginkan sebanyak mungkin pemilih mencoblos kandidat mereka, sehingga mereka berpropaganda supaya jangan golput.

Hanya saja, Tweeps yang golput berpendapat bahwa hal tersebut merupakan hak konstitusional setiap warga negara, sehingga tentu saja tidak dapat diganggu gugat.
Semua propaganda tersebut, selama masih dalam batas wajar dan tidak masuk dalam klausul ‘pencemaran nama baik’ di UU ITE, tentu saja sah-sah saja di Twitter.

Batas Rasionalitas Twitter

Dari sekian banyak diskursus, debat, propaganda, bahkan agitasi di Twitter di era kampanye ini, ada satu hal yang menjadi pertanyaan besar. Apakah semua pertukaran pikiran tersebut dapat dijewantahkan pada dunia nyata? Hal ini bukan hanya terkait pada tokoh yang terpilih pada legislatif dan eksekutif, namun lebih pada berbagai macam pertukaran gagasan yang terjadi. Yang selama ini terjadi, setelah pemilu selesai, maka party is over, dan segala sesuatu menjadi ‘normal’ kembali.

Lalu, berikutnya apa? Seakan pemilu terbatas pada pesta pora dan hura-hura, namun akhirnya pertukaran wacana di medsos hanyalah tinggal menjadi wacana saja di dunia ide. Jika demikian, sebenarnya kita hanya memberi keuntungan pada Twitter an sich, karena semakin banyak tweet yang dihasilkan, maka potensi advertising mereka juga akan semakin membludak.

User akhirnya harus menjadi kritis, di mana mereka seyogyanya mengawasi siapapun yang mereka pilih, atau jika memutuskan golput sekalipun, tetap mengawasi hal-hal yang akhirnya menjadikan mereka memutuskan demikian. Dengan demikian, di era propaganda ini, user tetap mengambil keuntungan bagi diri dan komunitasnya.

*Tentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumni program Phd Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Managing Editor Netsains.com; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di facebook, dan www.gplus.to/arli di google+.