Wakil Ketua Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Azis menjelaskan, perbankan di Indonesia saat ini menganut pasar bebas
sehingga bebas mengatur keuangan, khususnya gaji maupun remunerasi
direksi dan bankir. "BI sampai saat ini tidak bisa mengatur gaji dan
remunerasi bankir karena tidak ada regulasi yang mengaturnya. Yang bisa
dilakukan BI cuma imbauan," kata Harry kepada Kompas.com di Jakarta, Jumat (20/7/2012).
Dengan
sistem pasar bebas dan ketiadaan regulasi untuk mengatur remunerasi dan
gaji bankir, maka perbankan akan dengan bebas mengatur gaji
karyawannya, termasuk direksi dan bawahannya. Bahkan, jika sanggup,
perbankan tersebut bisa menggaji direksinya hingga miliaran rupiah.
Masalahnya,
saat perbankan mengalami masalah dan tidak bisa membayar gaji karyawan
maupun direksinya, maka negara juga tidak bisa menanggung biaya
tersebut. Sehingga muncul wacana untuk efisiensi biaya dalam
mengantisipasi krisis yang bisa terjadi sewaktu-waktu. "Ini yang di
luar jangkauan negara. Bank harus menyiapkan segala keuangannya secara
mandiri. Sehingga saat ada masalah, bank tersebut tidak bisa meminta
jaminan negara," jelasnya.
Sekadar catatan, BI merilis hasil studi
tentang perbandingan biaya remunerasi dan gaji direksi maupun karyawan
perbankan di empat negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, dan
Thailand. Studi dilakukan pada empat bank besar di masing-masing negara.
Hasilnya, kontribusi gaji terhadap biaya overhead perbankan mencapai 2,44 persen (Indonesia), 1,81 persen (Filipina), 1,74 persen (Malaysia), 1,34 persen (Thailand).
Sementara
gaji karyawan di perbankan mencapai Rp 93 juta per tahun (Filipina), Rp
194 juta per tahun (Indonesia), Rp 236 juta per tahun (Malaysia), dan
Rp 300 juta per tahun (Thailand). Di sisi lain, remunerasi direksi
perbankan mencapai Rp 2 miliar per tahun (Thailand), Rp 5,6 miliar per
tahun (Malaysia), dan Indonesia mencapai Rp 12 miliar per tahun.