Selama empat tahun pemerintahan Obama, menurut Sofjan, nilai ekspor Indonesia ke Amerika selalu tumbuh. Begitu juga nilai investasi negeri Paman Sam itu terus meningkat. "Kita harap itu akan dilanjutkan pada periode pemerintahan selanjutnya," ujarnya, Rabu 7 November 2012.
Sofjan mengakui ada beberapa kampanye negative terhadap produk Indonesia dari organisasi sosial ataupun perusahaan asal Amerika Serikat yang merugikan ekspor beberapa komoditas Indonesia. Misalnya minyak sawit mentah (CPO) yang dituding merusak lingkungan atau yang terbaru boikot kertas Indonesia oleh Disney. Tapi menurut Sofjan, hal-hal seperti itu wajar dalam dunia perdagangan. "Secara teknis itu biasa dan bisa diselesaikan," ujarnya.
Di pihak lain, Indonesia juga mendapat beberapa keuntungan dari kebijakan perdagangan Pemerintah Amerika Serikat. "Ada produk kita, seperti tekstil itu mendapat keringanan tarif sehingga memudahkan ekspor," ujarnya. Ini, kata Sofjan, tak bisa dilepaskan dari peran sang presiden.
Amerika Serikat adalah mitra dagang terbesar ketiga Indonesia setelah Cina dan Jepang. Tahun lalu, volume perdagangan Indonesia Amerika Serikat mencapai US$ 27.272.354 dengan ekspor US$ 16.459.139 dan impor US$ 10.813.206. Jumlah itu meningkat dibanding 2010 yang nilainya US$ 23.665.785 dengan nilai ekspor US$ 14.266.634 dan impor US$ 9.399.150. Sementara pada 2009 volume perdagangan kedua negara adalah US$ 17.933.955 dengan nilai ekspor US$ 10.850.023 dan impor US$ 7.083.932.
Ekspor Indonesia ke Amerika Serikat didominasi oleh produk non-migas. Dari tahun ke tahun, ekspor migas Indonesia ke Amerika Serikat hanya sekitar 5 persen dari nilai total ekspor. Sepuluh komoditi ekspor non migas utama Indonesia ke Amerika Serikat adalah; tekstil, karet dan produk turunannya, barang elektronik dan komponennya, alas kaki, udang, furniture, kopi, coklat, minyak kelapa sawit, dan komponen kendaraan bermotor.
Di bidang investasi, Sofjan menyebut, Amerika Serikat kini tak hanya fokus pada industri tambang. Dalam dua tahun terakhir, menurut Sofjan, Amerika Serikat gencar memasukkan modalnya di sektor industri manufacture, dan makanan. Pada 2011, investasi Amerika Serikat menempati rangking keempat, setelah Singapura, Jepang, dan Korea Selatan (Korsel), dengan nilai investasi non migas US$ 1,7 miliar. "Iklim investasi yang bagus ini tentu menguntungkan kita karena jaringan kita jadi lebih luas," ujarnya.