5 Fakta fenomena gila belanja saat Ramadan jelang Lebaran

Fenomena memburu produk diskon di pusat perbelanjaan menjadi hal wajar menjelang hari raya Idul Fitri saban tahun. Tradisi mengenakan pakaian baru di saat hari raya menjadikan sejumlah umat muslim memadati pusat perbelanjaan. 
Berikut fakta dibalik fenomena 'gila belanja' masyarakat Indonesia saat Ramadan jelang Lebaran.

Seperti di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, pantauan merdeka.com, sejumlah tenant berlomba-lomba melakukan promosi diskon untuk menyedot minat belanja pengunjung. Tak tanggung-tanggung, penawaran diskon pun bisa menginjak 90 persen.

"Memang biasanya awal puasa itu sudah ada yang di diskon, tapi deket-deket Lebaran lebih dinaikin lagi diskonnya," tutur salah satu pegawai toko, Maulana (26).

Salah satu pengunjung, Ryan (34), mengaku tidak terlalu ambil pusing terkait perang diskon sejumlah pedagang ritel di pusat perbelanjaan. "Ya kalau diskon sih bagus mbak. Tapi ya sudah rahasia umum kan itu harga normal sebelumnya pasti sudah dinaikin dulu baru didiskon. Strateginya kan begitu," ucap Ryan.

Namun, tak sedikit masyarakat yang tergiur obral diskon dan melakukan aksi borong berlebihan. Momen satu tahun sekali ini membuat konsumen tak peduli angka pengeluaran telah melonjak tinggi. Selain untuk makanan, membeli pakaian selalu menjadi tradisi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Konsumen juga kerap mengalokasikan anggaran khusus dari tunjangan hari raya (THR) atau bonus untuk membeli busana hari raya.

Berikut fakta dibalik fenomena 'gila belanja' masyarakat Indonesia saat Ramadan jelang Lebaran.


1. Ajang pedagang singkirkan barang lama



Ketua Asosiasi Pusat Perbelanjaan Indonesia, Handaka Santosa, mengakui peningkatan keuntungan penjualan pedagang dari aksi diskon gede-gedean antara 50 persen - 100 persen.

Handaka menjelaskan, biasanya diskon besar diberikan kepada barang stok lama. "Diskon ini diberikan kepada barang-barang yang diharapkan segera cuci gudang untuk digantikan dengan barang baru. Soalnya kan kalau barang lama enggak habis, barang baru enggak bisa didisplay," jelasnya.

2. Diskon besar cuma trik pedagang



Jelang hari raya Idul Fitri, sifat konsumtif masyarakat meningkat. Melihat peluang ini, pedagang langsung membanjiri pasar dengan diskon seperti banyak dilihat di pusat perbelanjaan beberapa hari terakhir ini.

Ketua Asosiasi Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPI), Handaka Santosa, mengungkapkan bahwa saat pesta diskon seperti ini banyak tenant memberikan diskon 50 persen + 20 persen. Handaka menjelaskan itu merupakan strategi marketing pihak tenant.

"Jadi diskon 50 persen + 20 persen itu maksudnya harga pokok penjualan barangnya berapa, lalu didiskon 50 persen setelah itu harga setelah diskon 50 persen didiskon lagi 20 persen," jelas Handaka. Handaka menambahkan, total diskon tersebut sebetulnya hanya sebesar 60 persen.

"Jadi enggak langsung diskon 70 persen. Jatuhnya diskon 60 persen. Kenapa enggak sekalian 70 persen, nanti rugi. Itu trik marketing," tambahnya.

3. Transaksi belanja online jadi solusi membludaknya pengunjung mal



Salah satu penggila online shop, Ratih Sekar (25) menuturkan semenjak menjamurnya online shop, dirinya menjadi enggan berputar-putar, keluar masuk toko di pusat perbelanjaan.

"Olshop (online shop) itu cepat, praktis. Apalagi sekarang udah banyak. Jadi makin banyak pilihan," ucap Ratih kepada merdeka.com di Jakarta.

Ratih mengakui dirinya semakin enggan pergi ke pusat perbelanjaan saat jelang hari raya Idul Fitri seperti saat ini. Pasalnya, pesta diskon oleh tenant, membuat pusat perbelanjaan semakin penuh dari hari biasa.

"Mal-mal pada rame-rame banget. Mau masuk aja mobil susah. Mending online," tuturnya.

4. Sifat gila belanja tak bantu pertumbuhan industri dalam negeri



Tingginya sifat konsumtif masyarakat Indonesia, khususnya saat Idul Fitri, tak berpengaruh signifikan pada pertumbuhan industri riil di Tanah Air. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan pemerintah alpa dalam memanfaatkan peluang pertumbuhan ekonomi ini.

"Mestinya kita mempunyai satu sisi pemerintah dalam mengelola kebijakan ekonomi tertentu, diantaranya melihat perilaku masyarakat. Kalau masyarakat konsumtif, tentu kebijakan yang diprioritaskan pemerintah yakni fokus mendorong produksi atau di sektor riil," ujar Enny saat dihubungi merdeka.com, Jakarta.

Pemerintah sejauh ini, tambah Enny, sangat minim menelurkan kebijakan pro industri sektor riil. Kesalahan ini tak juga diperbaiki pemerintah sejak dahulu.

"Yang terjadi justru pemerintah sejak reformasi bahkan di awal tahun 90-an justru berbalik. Dulu industri pertanian tumbuh lumayan, tapi justru sektor produksi anjlok. Ada kesalahan design kebijakan. Padahal kalau fokus genjot sektor riil justru jadi peluang," ucapnya.

5. Abaikan kualitas suatu barang



Perilaku gila belanja masyarakat, khususnya saat pesta diskon membuat konsumen hanya melihat sisi harga tak mempedulikan aspek kualitas. Sifat masyarakat saat ini justru merugikan diri sendiri.

"Daya beli masyarakat yang masih rendah juga mempengaruhi preferensi mereka. Akhirnya, enggak peduli kalau barangnya itu kualitasnya jelek," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati.